Jumat, 30 Maret 2012

SENI TERAKOTA (TANAH LIAT) ZAMAN MAJAPAHIT

Jejak sejarah kerajaan Majapahit tersebar pada tinggalan-tinggalannya yang ditemukan di Mojokerto, Jawa Timur. Ada banyak artefak yang dapat menjelaskan banyak hal termasuk mengenai kehidupan ekonomi masyarakat. Terakota, misalnya, atau kerajinan tanah liat era Majapahit. Seni Terakota adalah satu karakter budaya pada masa Majapahit yang cukup terkenal dan banyak diketemukan. Hasil seni ini diketahui dari tinggala-tinggalan yang diketemukan baik yang berbentuk arca, bak air, jambangan, vas bunga, hiasan atap rumah, genteng, dinding sumur (jobong), kendi, atau celengan.

Trowulan dan sekitarnya yang diasumsikan sebagai situs ibu Kota Kerajaan Majapahit ditemukan jenis-jenis barang yang terbuat dan lempung bakar atau terakota dalam jumlah yang sangat melimpah. Dapat disimpulkan bahwa ketika itu terakota sangat berperan dalam kehidupan penduduk kota. Terakota Majapahit dan Situs Trowulan amat kaya ragamnya, di antaranya seperti unsur bangunan (bata, genteng, jobong sumur, pipa saluran), wadah (periuk, pasu, kendi, tempayan, boneka, vas bunga), ritus religi (sesaji, meterai), dan alat kebutuhan praktis lainnya seperti timbangan, dan lampu (clupak). Sebagian besar terakota ini diduga merupakan buatan setempat karena ditemukan alat produksinya yang berupa pelandas. Selain terakota, di Situs Trowulan banyak ditemukan juga berbagai benda yang terbuat dari bahan logam dan batu seperti genta, guci amerta dan arca, yang telah memiliki nilai seni yang cukup tinggi.

Pada era Majapahit pengetahuan tentang pembuatan barang-barang dari tanah liat bakar diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model dari tanah liat, mengeringkan di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Walaupun prinsipnya sederhana, berdasarkan pengamatan dapat diketahui, bahwa hasil kesenian terakota dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan kurangnya pengetahuan dalam proses pembuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa si pembuat benda seni tersebut

Di Trowulan juga banyak ditemukan miniatur bangunan terakota, terdiri dari aneka bentuk miniatur ini ada yang menggambarkan bangunan suci (candi) dan ada yang menggambarkan berbagai bentuk bangunan rumah. Dilihat dari bentuk atapnya bangunan rurmah ada yang beratap tajuk, kampung, limasan, dan gonjong. Penutup atap ada yang terbuat dari genteng, sirap, bambu, dan ijuk atau rumbia. Bangunan yang ada dapat dibedakan menjadi bangunan terbuka tanpa dinding serta bangunan yang tertutup.

Salah satu temuan (artefak) terakota dari Situs Trowulan adalah arca binatang yang bagiannya berongga sehingga arca itu nampak sangat gemuk dan digambarkan dengan posisi duduk; pada bagian punggungnya diberi lubang sempit memanjang, Bentuk arca seperti ini mengingatkan kepada ‘celengan’ sebagai tempat/wadah menabung uang. Selain arca binatang, ‘celengan’ terakota lainnya ada yang berbentuk bulatan biasa seperti ‘bola’ dengan diberi pegangan pada bagian atas dan sedikit hiasan (Muller,1978: 27).

Dalam perkembangannya istilah celengan (babi-babian) yang berasal dari kata celeng, atau babi hutan tidak hanya digunakan untuk menyebut kotak uang dalam bentuk babi, tetapi juga untuk kotak uang dalam bentuk yang lain.

Sejauh ini kotak uang yang ada sebagian besar berbentuk babi yang terbesar berukuran lebih kurang 45 cm dan tingginya 31 cm. Selain itu terdapat sebuah contoh kotak uang berbentuk induk babi yang dikelilingi oleh 4 ekor anaknya. Sampai sekarang di Jawa Timur istilah yang dipakai untuk menyebut kotak uang yang berbentuk babi adalah celengan. Wujud celengan hewan bukanlah tanpa makna. Ini bentuk ekspresif manusia yang menganggap sejumlah binatang menandai simbol tertentu. Wujud babi diyakini sebagai bentuk kemakmuran.

Sumber: http://jejaknusantara.com/seni

SARANA KEAGAMAAN MASA MAJAPAHIT

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirthan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan ini kebanyakan bersifat agama siwa, yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakrtaama, Arjunawijaya, Sutasoma dan berita .

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana. Selain itu, terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.


Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.

Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang. Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.


Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (sumberjati).

2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak mempunyai garbhagrha dan arca pendharmaan/perwujudan, tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Penanggungan, Lawu, Wilis, dsb.

Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa.

Sumber: http://jejaknusantara.com/upacara-keagamaan

TATA KOTA ISTANA MAJAPAHIT

Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut “Purawuktra” menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng “Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban. -Nagarakretagama

Cuplikan dari Nagarakretagama yang menggambarkan salah satu bagian dari ibu kota Majapahit seperti yang digambarkan oleh Prapanca. Di mana reruntuhannya? Sebagian besar para pakar arkeologi memercayai dan menempatkannya di Trowulan. Mengapa Trowulan? Hal ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.

Uraian Nagarakretagama tentang Kota Majapahit telah dicari lokasinya di lapangan oleh Maclains Pont dari tahun 1924-1926. Ia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan. Benteng kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi. Secara makro, bentuk Kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi berdenah segi empat dan terdapat gapura masuk di keempat sisinya, sedangkan keraton terletak di tengah-tengah. Selain itu terdapat kediaman para prajurit dan punggawa, pejabat pemerintah pusat, para menteri, pemimpin keagamaan, para kesatria, paseban, lapangan Bubat, kolam segaran, tempat pemandian, dan lain-lain.

Istana dan Raja
Berita Cina yang ditulis oleh Ma Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Jawa memberikan penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Antara lain, bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).

Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu. Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading.

Tata Kota
Kerajaan Majapahit, selain mempunyai ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, juga merupakan pusat magis bagi seluruh kerajaan. Ditinjau dari konsep kosmologi, wujud ibu kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru (Semeru).

Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu:
1. unsur gunung (replikanya dibentuk candi),
2. unsur sungai (replikannya dibentuk kanal),
3. unsur laut (replikanya dibentuk waduk).

Nagarakretagama menyebutkan bahwa susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta, dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus, dan kuat. Ibu kota Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhatara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.


Pupuh VIII
1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat
bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah
tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.
2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah
timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di
selatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di Selatan jalan perempat:
balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.

3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri.
Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara.
Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.

4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan
tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak
di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh
berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.

5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah
bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di
sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-
tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.

6. Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua
balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih
berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh XII
1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal
pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan
Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang
adiraja.

2. Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha
penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani
Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.

3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung
praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.

4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana,
setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi
jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.

5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan
Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.

6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan
dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai
pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Sumber: http://jejaknusantara.com/pengetahuan-teknologi

KEGIATAN DAN KOMODITI PERDAGANGAN DI KERAJAAN MAJAPAHIT

Gambaran mengenai aktivitas perdagangan dalam sumber prasasti biasanya dikaitkan dengan pengaturan mengenai batas barang-barang yang tidak dikenai pajak dan yang dikenai pajak. Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan. hal ini menandakan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli.

Aktivitas perdagangan pada masyarakat Jawa Kuno dapat dibedakan kedalam dua kategori: lokal yang berlangsung di tingkat desa, dan regional yang mencakup wilayah luas atau jarak jauh. Pusat perhatian dari kajian perdagangan lokal adalah kegiatan pasar yang biasanya beralngsung mengikuti pola hari pasaran dengan siklus lima hari sepekan dan biasanya me-nyang kut barang-barang kebutuhan sehari-hari. Pemahaman mengenai hal ini terutama diperoleh melalui kajian etnografi dan sumber-sumber sejarah Jawa. Kesimpulan umum mengenai pola perdagangan ini menegaskan bahwa sistem perdagangan lokal tidak mengalami perubahan yang berarti sejak dikenalnya sistem perdagangan ini hingga pertengahan abad ke-20.

Dalam konteks masa Jawa Kuno, tidak banyak diketahiu bagaimana ketentuan dan batas-batas desa yang menjadi rute rotasi, juga tidak diketahui bagaimana mekanisme perdagangan di atas tingkat desa dilakukan, dan kelompok pedagang seperti apa yang paling berperan. Lombard menduga, jenis perdagangan dalam cakupan yang lebih luas telah mulai muncul sejak awal abad ke 10 dengan munculnya profesi khusus yang disebut dengan istilah banyaga (pedagang) dan dikenal sebagi salah satu kelompok ‘pengelana’, bahkan diantaranya ada yang telah mendiami sebuah desa dan membuat sebuah pola perkampungan bagi pedagang. Hal tersebut menurut Pigeaud bukan merupakan hal yang aneh, karena pada abad ke-14 (sejak 1366-1387), telah dijumpai desa-desa dengan spealisasinya masing-masing.

Nagarakretagama pupuh LXXXIII/3 mencatat bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnatas (Mysore di India) datang ke Majapahit. Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa pun pergi ke tempat-tempat tersebut. Ramainya perdagangan Majapahit terbukti dari banyaknya pedagang asing yang ada di sana. Menurut Ma Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng Lain, disebutkan bahwa di Majapahit banyak bermukim orang-orang Cina dari Canton, Chang Chou, Ch’uan, dan Fukien. Bahkan di Gresik terdapat kurang lebih 1.000 keluarga Cina asal Canton, dan di antaranya termasuk bangsa asing dari Jambudwipa (India), Kamboja, Campa (Laos), Yawana, Goda, dan Kanataka.
Dalam hal ini, Tuban merupakan pelabuhan ekspor hasil bumi yang berasal dari Jawa atau pulau lainnya. Barang dagangan yang diekspor meliputi lada, garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, gula, pisang, kayu cendana, kelapa kapas, sutera, belerang, perak, emas, dan budak belian. Beras juga diekspor dari Tuban untuk Indonesia bagian timur. Di daerah ini beras ditukar dengan rempah-rempah yang selanjutnya dikirim ke Cina. Pelabuhan yang tidak kalah pentingnya adalah Gresik yang mengekspor berasnya sampai ke Malaka.

Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan adalah tuha dagang atau juru dagang yaitu ketua atau pengawas para pedagang. Istilah yang merujuk kepada profesi jual-beli disebut hadagang, banyaga atau awalija. Kendati tidak selalu disebutkan di dalam seluruh prasasti namun jenis-jenis barang yang diperdagangkan kerap dihantar atau dahului kata wli (beli) termasuk besar pajak yang ditentukan.

Disamping jenis barang dagangan, ada kelompok yang melakukan usaha pelayanan, khususnya pelayanan angkutan menggunakan tenaga hewan seperti atitih (kuda), juga alat angkut lainnya seperti gulungan (gerobag), mapadati (pedati) dan parahu (perahu).
Tidak setiap prasasti menuliskan aktivitas perdagangan, kecuali beberapa diantaranya Prasasti Biluluk II (1313 Saka/1391 AD):“asambewara sarwwa papat hadagang, hamahat … hamalanten hamdel hamuter hanglaksa hangapu … palalanjer luputing titiban sahang, cabe, kemukus kapulaga besi kawali besi pinggan kapas” (berdagang serba empat: pedagang, pemahat, tukang kain halus, pembuat celup berwarna biru, pembuat minyak yang menggunakan gilingan/hamuter, pembuat laksa, penjual kapur … termasuk hasil bumi yang diperjual-belikan seperti merica, cabe, kemenyan, kapulaga, besi, kuwali besi, pinggan kapas…).

Tentang barang dagang yang lain, beras biasanya didatangkan dari seluruh negeri dan menjadi sandaran utama perdagangan Kerajaan. Adapun garam umumnya dihasilkan dari pantai utara Jawa; kulit penyu dari Jawa Timur bagian selatan; mutiara dari Maluku; emas dan perak dari Jawa Barat. Sebaliknya, orang-orang Cina membawa barang kelontong, seperti sutera, keramik, uang kepeng, dan arak.

Penduduk yang ada di pantai utara terutama yang berdekatan dengan pelabuhan seperti Tuban Gersik, Surabaya, dan Canggu, kebanyakan menjadi pedagang. Menurut berita Ma Huan, kota-kota pelabuhan banyak ditempati pedagang dari Arab dan Cina. Sedangkan orang pribumi datang ke sana untuk berdagang. Barang yang menjadi komoditas di tempat ini adalah batu bermutu dan barang buatan luar negeri yang dibeli dalam jumlah banyak. Mereka sangat suka membeli barang pecah belah (porselen) Cina yang bergambar bunga-bungaan, bewarna hijau, minyak wangi, kain sutra, dan katun baik yang berguna maupun yang polos. Mereka membayarnya dengan uang tembaga dari Cina; uang tembaga dari berbagai dinasti di Cina laku di tempat niaga ini.

Tiap-tiap prasasti memiliki istilah-istilah menyebut jenis barang dagangan sejalan perkembangan dan pengenalan bahasa periode yang diwakilinya namun pada dasarnya berkaitan dengan ketentuan pajak. Secara garis besar barang-barang yang diperdagangkan terdapat tidak kurang dari 31 macam dan tidak berarti setiap pedagang menjual secara khusus satu jenis barang dagangan. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
a) jenis makanan dan bumbu-bumbuan dan pangan
b) jenis sandang
c) jenis perlengkapan umum, dan
d) hewan (ternak).

Sumber: http://jejaknusantara.com/sosial-ekonomi

TERJEMAHAN KAKAWIN DESAWARNANA (NAGARAKRETAGAMA) bag 1 - Karya Mpu PrapancaOleh: Slamet Muljana

Pupuh 1
1. Om! Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung jagat. Siwa-Buddha-Jamna-Batara senantiasa tenang-tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja dunia. Dewa Batara, lebih khayal dari khayal, tapi tampak di atas tanah.
2. Merata serta meresapi segala makhluk, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
3. Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk negara. Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan seluruh Nusantara.
4. Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran. Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara.
5. Itulah tanda bahwa Batara Gurunata menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta, seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, satria, waisya, sudra; keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.

Pupuh 2
1. Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah nenekanda Sri Baginda. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku wikuni tua, tekun berlatih yoga menyembah Buddha. Tahun Saka dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budaloka.
2. Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada, dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Baginda mendaki takhta. Girang ibunda Tribhuwana Wijayatunggadewi mengemban takhta. Bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.

Pupuh 3
1. Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni. Setia mengikuti ajaran Buddha, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Sri Baginda raja ialah Prabu Kertawardana. Keduanya teguh beriman Buddha demi perdamaian praja.
2. Ayahnya Sri Baginda Raja bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa, menambah kesejahteraan bersama. Teguh-tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.

Pupuh 4
1. Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik tak bertara, bersandar nam guna. Adalah bibi Baginda, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan Rani Jiwana bagai bidadari kembar.
2. Laki sang Rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa.

Pupuh 5
1. Adinda Baginda raja di Wilwatikta: putri jelita bersemayam di Lasem. Putri jelita Daha, cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa.
2. Dan lagi putri bungsu Kretawardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Baginda.

Pupuh 6
1. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas Rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasawardana, sangat bagus lagi putus dalam naya. Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
2. Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan, dan perwira. Bergelar raja Paguhan, beliaulah suami Rani Pajang. Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
3. Bhre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani. Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana. Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
4. Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani, masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Sri Nata.

Pupuh 7
1. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bagai matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa. Girang janma utama bagai bunga tunjung, musnah durjana bagai kumuda. Dari semua desa di wilayah negara, pajak mengalir bagai air.
2. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai Dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna. Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu. Menjaga pura sebagai Dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan.
3. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik. Paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan Baginda.
4. Berputralah beliau putri mahkota Kusumawardani, sangat cantik. Sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikramawardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.

Pupuh 8
1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.
2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buhdha, yang bertugas membahas upacara. Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.
4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
6. Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh 9
1. Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang. Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang Jayagung. Dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi.
2. Begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas. Mahamantri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua. Di sebelah utara pintu istana di selatan, satria dan pujangga.
3. Di bagian barat: beberapa balai memanjang sampai mercudesa. Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa, dan balai. Tempat tinggal abdi Sri Narapati Paguhan, bertugas menghadap.
4. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas, dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias. Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan. Itulah balai tempat terima tetamu Sri Nata di Wilwatikta.

Pupuh 10
1. Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana: Wredamentri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring. Sang Panca Wilwatikta: mapatih, demung, kanuruhan, rangga, tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
2. Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan. Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika dating, berkumpul di kepatihan seluruh Negara. Lima menteri utama, yang mengawal urusan negara.
3. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap, berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana. Begitu juga dua dharmadhyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.

Pupuh 11
1. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta, yang terhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur, agak jauh dari pintu pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singawardana, permaisuri, putra dan putrinya. Ke Istana Utara, tempat Kretawardana. Ketiganya bagai kahyangan.
2. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni. Kakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang, menarik perhatian. Bunga tanjung, kesara, campaka, dan lain-lainnya terpencar di halaman.

Pupuh 12
1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang adiraja.
2. Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Pupuh 13
1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba, dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang
2. Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.

Pupuh 14
1. Kadandangan, Landa Samadang, dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune(ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
2. Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu. Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran; semua sudah lama terhimpun.
3. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
5. Tersebut pula pulau-pulau Makassar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda(n), Ambon atau Pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.

Pupuh 15
1. Inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan. Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura, begitu juga Singasagari Campa, Kamboja, dan Yawana ialah negara sahabat.
2. Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon, tahun Saka lautan menatang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
3. Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.

Pupuh 16
1. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di Nusantara. Dilarang mengabaikan urusan Negara, mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga. Menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat.
2. Konon, kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata. Dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata. Dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buddha.
3. Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun, Bali. Boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan menurut kabaran Mahamuni Empu Barada. Serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh.
4. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja. Dikirim ke timur ke barat, di mana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar.
5. Semua negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari Pulau Jawa. Tapi yang membangkang, melanggar perintah dibinasakan. Pimpinan angkatan laut, yang telah masyhur lagi berjasa.

Pupuh 17
1. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah Nusantara. Di Sri Palatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang, dan lega. Wipra, pujangga, dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur.
2. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga.
3. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Sri Paduka. Ribuan orang berkunjung, laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya.
4. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima.
5. Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan Lingga hingga desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun.
6. Tahun Saka aksatisurya (1275), Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga-naga-aryama (1276) ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279), ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu, dan Sideman.
7. Tahun Saka seekor-naga-menelan-bulan (1281) di Badrapada bulan tambah. Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang. Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi. Menteri, tanda, pendeta, pujangga; semua para pembesar ikut serta.
8. Juga yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai pembesar kebuddhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Buddha umerak (ramai) membicarakan tingkah lakunya dulu.
9. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah, dan menggubah. Karya kakawin, begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
10. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci. Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkaja memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan. Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
11. Habis berkunjung pada candi makam (pasareyan) Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu.

Pupuh 18
1. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
2. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain lambangnya. Rakryan sang menteri patih amangkubumi penatang kerajaan. Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda.
3. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma mas mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
4. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah maja. Beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar merah indah. Semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi. Ringkasnya para wanita berkereta merah berjalan paling muka.
5. Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang. Jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap. Rapat rampak prajurit pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah. Bhayangkari gemuruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda.
6. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat. Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi akrab. Larut matahari berangkat lagi, tepat waktu Sri Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung.
7. Dukuh sepi kebuddhaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang. Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung. Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya. Puas sang dharmadhyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
8. Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem, perjalanan Sri Baginda. Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam. Baginda memberikan perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah. Sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat.

Pupuh 19
1. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
2. Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gajah Mada, teratur rapi. Di situlah Sri Baginda menempati pasanggrahan yang tehias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.

Pupuh 20
1. Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu makan minum. Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
2. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul. Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa kasogatan yang berakuwu. Sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.Nagarakretagama ditulis dalam bentuk kakawin sebagai pujasastra bagi Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, berbeda dengan Pararaton yang ditulis secara prosa. Nagarakretagama-lah, salah satunya, nama Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk (yang hanya disebutkan dengan gelarnya) begitu diagung-agungkan, yang menyebabkan namanya terkenal hingga kini. Dibandingkan dengan kakawin-kakawin lainnya, baik yang sejaman atau-pun sebelumnya, nampak nyata betapa berbedanya isi, gaya dan cara yang di tuangkan Mpu Prapanca dalam kakawinnya. Kakawin Desawarnanna atau Nagarakrtagama adalah rekaman yang benar-benar saksi mata atas pengalaman langsung yang ditulis pada masanya. Penulisnya, Mpu Prapanca, hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk sehingga dapat dipastikan ia tahu benar tentang keadaan sosial-ekonomi-politik-budaya Majapahit masa itu. Mpu Prapanca sering ikut dalam rombongan arak-arakan Raja Wilwatikta (Majapahit) selama mengadakan perjalanan ke berbagai tempat.

Pupuh 21
1. Fajar menyingsing; berangkat lagi Sri Paduka melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.
2. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang. Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan.

Pupuh 22
1. Di Dampar dan Patunjungan Sri Baginda bercengkerama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur dilintasi kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
2. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan, menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang belum kembali ke asrama.
3. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut. Menyeberangi Sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.
4. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam, Sri Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya, beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
5. Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya.

Pupuh 23
1. Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.
2. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.
3. Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar.

Pupuh 24
1. Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan. Dan Bangkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa.
2. Terpalang matahari terbenam, berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.

Pupuh 25
1. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para mentri dan abdi. Beramai-ramai Baginda telah sampai di desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Sri Baginda Nata.
2. Semua menteri mancanagara hadir di pakuwuan. Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji Siwa dan Panji Buddha faham hukum dan putus sastera.

Pupuh 26
1. Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan.
2. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan. Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau. Jalannya jembatan goyah, kelihatan bergoyang ditempuh ombak. Itulah buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja.

Pupuh 27
1. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari. Baginda mendekati permaisuri seperti dewa-dewi. Para putri laksana apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran cengang.
2. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia.

Pupuh 28
1. Selama kunjungan di desa Patukangan, para menteri dari Bali dan Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Sri Paduka, menteri seluruh Jawa Timur berkumpul.
2. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang.
3. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat.

Pupuh 29
1. Hanya pujangga yang menyamar Empu Prapanca sedih tanpa upama. Berkabung kehilangan kawan kawi-Buddha Panji Kertayasa. Teman bersuka-ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.
2. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
3. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta. Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan. Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.

Pupuh 30
1. Tersebut perjalanan Sri Baginda ke arah barat. Segera sampai Keta dan tinggal di sana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain hingga puas.
2. Atas perintah sang arya semua menteri menghadap. Wiraprana bagai kepala upapati Siwa-Buddha. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan.

Pupuh 31
1. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring malah bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan. Sampai di Kalayu, Baginda berhenti ingin menyekar.
2. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi pasareyan (makam) sanak kadang Sri Baginda Raja. Penyekaran di pasareyan dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat sigi” nama upacara penyekaran itu.
3. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak.
4. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi desa-desa di sekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlumba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja.
5. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, sampai Kambangrawi bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Buddha menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
6. Perjamuan Tumenggung Empu Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Sri Baginda bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, Berurang, Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub, dan Lesan.

Pupuh 32
1. Segera Sri Baginda sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah selatan candi Buddha beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanottama para mantri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang.
2. Berangkat dari situ Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama Sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu.
3. Sang pujangga Prapanca yang memang senang bermenung, tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
4. Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat. Suka cita Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang disertai nama Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan.
5. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan. Andung, karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
6. Tiada sampailah kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan pria, tua muda, nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.

Pupuh 33
1. Habis berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapan. Sri Paduka membalas harta. membuat mereka gembira.
2. Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan. Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang.
3. Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja putri sengaja merenung. Batinnya: Dewa Asmara turun untuk datang menggoda.

Pupuh 34
1. Sri Baginda berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata, sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam roga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya.
2. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju desa Ganding.
3. Para mentri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Buddha. Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Sri Paduka dengan mas dan kain.
4. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.

Pupuh 35
1. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang. Ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Sri Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.
2. Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan, ingin terus melancong. Menuju asrama. Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung. Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan piagam (Serat Kekancingan) pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.
3. Isi piagam: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitu pula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung. Isi piagam membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru.
4. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama. Karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Sri Baginda mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan, dan Bureng.

Pupuh 36
1. Pada subakala Sri Paduka berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada pasareyan batara bersama segala pengiringnya. Harta, perlengkapan, makanan. dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera, disambut sorak-sorai dari penonton.
2. Habis penyekaran, Narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Buddha dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa rahap Sri Paduka bersantap sehingga puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah.

Pupuh 37
1. Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara. Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar. Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
2. Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti Gunung Meru dengan arca Batara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putra disembah bagai dewa batara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
3. Sebelah selatan candi pasareyan ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya yang masih berdiri, berciri kasogatan. Lantai di dalam, hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.
4. Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya. Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
5. Laksana wanita sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu. Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.
6. Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan batara.
7. Tersebut lagi, paginya Sri Baginda berkunjung ke Candi Kidal. Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.

Pupuh 38
1. Keindahan Bureng: telaga bergumpal airnya jernih. Kebiru-biruan, di tengahnya: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.
2. Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi. Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.
3. Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buddha, sarjana. Pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi.
4. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur. Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsafannya.
5. Tamu diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai orang bahagia, pujangga besar pengiring raja. Pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?”
6. Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur. Para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap. Ceritakanlah mulai dengan Batara Kagenengan. Ceritakan sejarahnya jadi putra Girinata.

Pupuh 39
1. Paduka Empuku menjawab: “Rakawi maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup.
2. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh”.Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur.
3. Semoga rakawi bersifat pengampun. Di antara kata mungkin terselib salah. Harap percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah dicela.

Pupuh 40
1. Pada tahun Saka lautan dasa bulan (1104) ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon kabarnya lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
2. Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putra Sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan Negara. Ibukota negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
3. Tahun Saka lautan dadu Siwa (1144), beliau melawan raja Kediri Sang Adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
4. Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Jenggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa.
5. Makin bertambah besar kuasa dan megah putra sang Girinata. Terjamin keselatamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buddha.

Sumber: http://jejaknusantara.com/terjemahan-nagarakretagama

KAKAWIN DESAWARNANA (NAGARAKRETAGAMA) Karya Mpu Prapanca

Prapanca menulis tentang dirinya pada akhir karyanya:
Tanpa hasil ia menyibukkan diri, terus-menerus dan tekun, dengan menggubah kakawin-kakawin yang dituliskannya sebagai sanjak-sanjak di atas papan tulis. Ia mulai dengan jenis kronogram (sakakala), kemudian lambang (sanjak liris yang pendek), Parwasagara, pada tempat yang keempat Bhismasarana, dan akhirnya dengan memaparkan kisah Sang Budha. Kemudian ia kembali kepada jenis lambang dan kronogram, karena ia ingin menambahi jumlahnya dan karena tugas itu belum selesai” -Nagarakrtagama 94.3

Nagarakretagama ditulis dalam bentuk kakawin sebagai pujasastra bagi Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, berbeda dengan Pararaton yang ditulis secara prosa. Nagarakretagama-lah, salah satunya, nama Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk (yang hanya disebutkan dengan gelarnya) begitu diagung-agungkan, yang menyebabkan namanya terkenal hingga kini. Dibandingkan dengan kakawin-kakawin lainnya, baik yang sejaman atau-pun sebelumnya, nampak nyata betapa berbedanya isi, gaya dan cara yang di tuangkan Mpu Prapanca dalam kakawinnya. Kakawin Desawarnanna atau Nagarakrtagama adalah rekaman yang benar-benar saksi mata atas pengalaman langsung yang ditulis pada masanya. Penulisnya, Mpu Prapanca, hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk sehingga dapat dipastikan ia tahu benar tentang keadaan sosial-ekonomi-politik-budaya Majapahit masa itu. Mpu Prapanca sering ikut dalam rombongan arak-arakan Raja Wilwatikta (Majapahit) selama mengadakan perjalanan ke berbagai tempat.

Mpu Prapanca pernah menjabat Dharmadhyaksa. Jabatan administratif keagamaan istana yang tugasnya mengurusi lembaga-lembaga, yayasan-yayasan, komunitas-komunitas keagamaan. Terdiri dari Dharmadhyaksa Kasogatan (Bodhadhyaksa) yang mengurusi pemeluk agama Budha, dan Dharmadhyaksa Kasaiwan (Saiwa- dhyaksa) khusus mengurusi pemeluk agama Siwa (Hindu). Kedua pejabat ini termasuk kaum rohaniwan, namun karena tidak pernah tercantum bukti-bukti di dalam teks prasasti (dokumen resmi pemerintah); maka (dharma)-dhyaksa ini oleh Kern dan Krom diterjmahkan sebagai “pengawas” (superintendent).

Dalam Nagarakrtagama (Nag.75) diterangkan wewenang dharmadhyaksa (Siwa dan Budha) mengawasi dharma lepas atau yayasan-yayasan keagamaan swasta dan milik keluarga istana (dharma kerajaan: dharma dalem atau dhar¬ma haji). Menurut Zoetmulder, inilah yang luput dari pengamatan Krom dan Kern sehingga keduanya keliru menafsirkan. Tatkala Prapanca menerangkan dirinya seorang dharmadhyaksa, ia menambahkan uraiannya bahwa sejak masih kanak-kanak ‘duk ray’ ia telah terbiasa bergaul dengan abdi dalem istana.

Ia mengaku bahwa usianya tidak jauh berpaut dengan Sri Baginda, dikala Dyah Hayam Wuruk memimpin tahta Majapahit (1350) dan melakukan kirab ke keliling daerah-daerah, Prapanca juga turut serta sambil mencatat dan menulis-kan hasil perjalanan tersebut. Kala itu Prapanca berusia 25 tahun Prapanca lalu saat menyesaikannya menjadi tulisan yang benar-benar utuh berupa Kakawin Desawarnanna, usia Prapanca telah mencapai 30 tahun.

Naskah ini ditemukan pertama kali tahun 1894, ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspedisi militer ke Pulau Lombok. Lombok berhasil ditundukkan; rajanya yang bersemayam di puri Cakranagara dipaksa menyerahkan naskah-naskah lontar yang disimpannya. Di antara naskah-naskah itu terdapat naskah Nagarakretagama, yang merupakan naskah salinan yang ditulis tahun 1662 Saka. J.L.A. Brandes yang sebelumnya pernah mempelajari tiga ekslempar naskah Serat Pararaton, tertarik untuk mempelajari Nagarakretagama ini. Ketika Nagarakretagama ditemukan di puri Cakranagara, Lombok, dan belum diterjemahkan, Brandes telah menerbitkan karyanya Pararaton (Ken Arok) of boek der koningen van Tumapel en van Majapahit berdasarkan Serat Pararaton pada tahun 1896. Namun, kemudian pada Juli 1978 ditemukan 4 naskah Nagarakretagama dari Pulau Bali: satu di Amlapura di Karangasem; satu lagi di Geria Pidada di Klungkung; dua lagi di Geria Carik Sideman.

Sebagaimana yang diakuinya bahwa hasil karya kakawinnya merupakan deskripsi mengenai wilayah-wilayah (kerajaan) yang diuraikannya satu persatu. Maka itu karyanya ini lebih tepat disebut Desawarnana ‘pelukisan tentang wilayah kerajaan’.

Sumber: http://jejaknusantara.com/bahasa-aksara

IKHTISAR SEJARAH MAJAPAHIT

Majapahit pada abad ke-14 merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara. Peranannya menggantikan Kerajaan Mataram di Jawa dan Sriwijaya di Sumatera, dua kekuatan besar di zamannya; yang pertama merupakan negara agraris, yang kedua negara maritim; kedua ciri itu dimiliki Oleh Majapahit. Para penggagas kerajaan Majapahit memiliki keinginan untuk membangun kerajaan yang meramu dua basis kekuatan, maritim dan agraris. Visi tersebut didukung dengan lokasi Ibukota Kerajaan Majapahit di daerah di hilir sungai (Brantas) yangstrategis dan dapat memudahkan pengawasan perdagangan pesisir yang sekaligus dapat mengendalikan produksi pertanian di pedalaman. Selain itu, perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah Seluruh Dwipantara, menjadi prioritas berikutnya.

Majapahit (Wilwatikta, Sansekerta) adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah ada di Nusantara yang mempengaruhi jalannya sejarah serta peradaban di kawasan Asia Tenggara pada abad ke 14 M. Sejarah Kerajaan Majapahit merupakan rentetan kisah serta peristiwa yang berkesinambungan dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di Tanah Jawa, Kadiri dan Singhasari.

Sejarah Nusantara telah mencatat peristiwa pengusiran utusan Kaisar Mongol (Bangsa Tartar) bernama Meng Khi yang datang ke tanah jawa membawa perintah Kaisar Kubilai Khan agar Krtanagara (penguasa Singhasari, raja yang memiliki pengaruh kuat di Tanah Jawa waktu itu), agar tunduk dalam pengaruh dan kekuasaan Mongol. Krtanagara dengan tegas menolaknya. Dibeberapa literatur dikatakan utusan tersebut dilkukai sebagai peringatan tegas penolakanraja Singasari tersebut. Krtanagara kemudian membangun armada militer untuk sebuah ekspedisi menggalang kekuatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara untuk menghalau pegaruh bangsa Mongol. Ekspedisi tersebut kemudian dikenal dengan nama ekspedisi “Pamalayu”.

Tersebutlah Jayakatwang (Jayakatong), seorang raja bawahan yang berkuasa di Kediri, melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan Singasari. Diilhami oleh peristiwa yang terjadi pada 1222 M, di mana leluhur Krtanagara, Ken Arok yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, merebut kekuasaan dari Kediri. Jayakatwang melakukan pemberontakan terhadap Singasari, tepat setelah ekspedisi Pamalayu diberangkatkan oleh Krtanagara. Dengan memanfaatkan menurunnya jumlah kekuatan pasukan di Singasari, Jayakatwang melakukan penyerangan dari delapan penjuru mata angin seperti yang dikisahkan dalam Pararaton, hanya dalam waktu yang sangat singkat Singasari dapat dikuasai. Krtanagara sendiri gugur dalam peristiwa ini (1292).

Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, di tahun meninggalnya Krtanagara, di China, Kaisar Dinasti Yuan, Kaisar Shizu (Kubilai Khan) mengirimkan ekspedisi untuk membalas pengusiran utusannya yang terdahulu ke Tanah Jawa. Ekspedisi Dinasti Yuan yang dipimpin oleh Shi Bi (Shih pi), Gao Xing (Kau Hsing), dan Ike Mese ini sampai di Pulau Belitung pada 1293 M untuk menyiapkan rencana penyerangan terhadap Singasari dan mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa tepat saat keberangkatan ekspedisi mereka, situasi politik dan kekuasaan di Jawa sudah berubah sangat drastis.

RADEN WIJAYA PENDIRI KERAJAAN MAJAPAHIT

Terseret dalam arus konflik politik dan peperangan di antara perseteruan abadi dua wangsa, Raden Wijaya membuktikan kualitasnya sebagai seorang calon pemimpin. Alih-alih ikut terseret dalam perseteruan tersebut, Raden Wijaya lebih memilih mengunjungi Bupati Songeneb (Sumenep), Arya Wiraraja dan memintanya sebagai utusan pendamai kepada Jayakatwang. Belum ada alasan pasti mengapa kemudian Jayakatwang menganugerahi Raden Wijaya dengan Hutan Těrik, apakah Raden Wijaya sendiri, atau bahkan Arya Wiraraja yang mengusulkan hal tersebut.

Entah siapa yang memulai untuk berhubungan, pasukan Kubilai Khan yang dipimpin oleh Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xin yang mendarat di Tuban kemudian bersatu dengan pasukan Raden Wijaya. Mungkin Bagi pasukan Mongol, Raden Wijaya merupakan sekutu yang berguna, mengingat mereka penduduk asli sehingga dapat dipastikan mengenal medan dengan sangat baik. Sementara bagi Raden Wijaya, Ike Mese dan pasukan Mongolnya merupakan bantuan besar dalam menjalankan rencana besarnya, mengusir Jayakatwang dari Singasari.

Kronik Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, pasukan Raden Wijaya balik menyerang pasukan bala tentara mongol yang telah berhasil menumpas Jayakatwang. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang, melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memorak-morandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit Mongol di atasnya.

Raden Wijaya kemudian mendirikansebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta (sinonim untuk Majapahit dalam bahasa Sansekerta). Nagarakretagama dan Pararaton sependapat bahwa Raden Wijaya menobatkan diri sebagai raja dari sebuah kerajaan baru bernama Majapahit pada tahun 1294 M. Ia dinobatkan dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana.

PUNCAK PENCAPAIAN DAN KEBESARAN KEAJAAN MAJAPAHIT

a. Tribhuwanatunggadewi dan Sumpah Palapa
Tribhuwanatunggadewi adalah Penguasa ketiga Majapahit (1328-1351 M) menggantikan Jayanagara yang meninggal Tahun 1328 M. Ia dinobatkan dengan nama gelar abhiseka Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani, terdapat pada Prasasti Singasari (1351).Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) sebagai makamangalya (memerintah dengan pengawasan) karena Gayatri telah menjadi bhiksuni. Karena itu pula, ketika Gayatri meninggal tahun 1350 M, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.

Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana Adalah tahun 1350 M, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Akan tetapi, Prasasti Singasar pada tahun 1351 M masih menyebutkan Tribhuwana sebagai raja Majapahit. Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja.

Kakawin Nagarakretagama, memaparkan bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana, pada tahun 1331 M terjadi pemberontakan daerah Sadeng dan Keta, yang mengangkat peran Gajah Mada sebagai bagian dari kesejarahan Majapahit. Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi juga terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit. Peristiwa Sumpah Palapa kemudian masuk ke dalam catatan sejarah Majapahit atas visi perluasan cakrawala kekuasaan pada masa Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi. Dalam Pararaton disebutkan bahwa Sumpah Palapa diucapkan Gajah Mada (dengan wewenang Tribhuwanatunggadewi) Saat dilantik sebagai rakryan patih, Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1334 M.

b. Hayam Wuruk , Perluasan Cakrawala Mandala
Pada 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja keempat Majapahit, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara, juga dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Hayam Wuruk merupakan kumaraja (raja muda) ketika ibunya, Tribhuwanatunggadewi, masih memerintah. Hayam Wuruk mendapat daerah kekuasaan sebagai sebagai daerah lungguh-nya (daerah kekuasaan).

c. Trowulan, Tatakota Majapahit
Berdasarkan hasil penelitian arkeologi di salah satu kompleks candi di Mojokerto, Trowulan, Jawa Timur, dapat diketahui bahwa tempat tersebut diduga pernah menjadi Ibukota kerajaan Majapahit. Sebaran situs seluas 9 x 11 km serta kelengkapan komponen- komponen tata kota yang lengkap dapat dijumpai. Saat ini, di Trowulan banyak temuan peninggalan Kerajaan. Kakawin Nagarakretagama merupakan sumber tertulis yang sangat penting untuk mengetahui gambaran kota Majapahit.

Masa-masa setelah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk diduga merupakan masa kemunduran kekuasaandan pengaruh Kerajaan Majapahit. Pertikaian keluarga yang berkelanjutan, perubahan politik dan perekonomian dunia internasional, secara tidak langsung memberi dampak yang mengakibatkan terjadinya kemunduran kerajaan ini, selain itu, melebarnya kekuasaan Kerajaan Islam Demak juga turut andil dalam melemahkan Kekuasaan Majapahit. kemunduran Majapahit sering di ibaratkan sebagai ”Sirna Ilang Kertaning Bhumi” (Musnah Hilang Keagungan Negeri: 1400 Saka /1487 M). Tahun inilah yang dipercaya sebagai tahun awal “kemunduran” Majapahit.

Sumber: http://jejaknusantara.com/sejarah