Jumat, 30 Maret 2012

KAKAWIN DESAWARNANA (NAGARAKRETAGAMA) Karya Mpu Prapanca

Prapanca menulis tentang dirinya pada akhir karyanya:
Tanpa hasil ia menyibukkan diri, terus-menerus dan tekun, dengan menggubah kakawin-kakawin yang dituliskannya sebagai sanjak-sanjak di atas papan tulis. Ia mulai dengan jenis kronogram (sakakala), kemudian lambang (sanjak liris yang pendek), Parwasagara, pada tempat yang keempat Bhismasarana, dan akhirnya dengan memaparkan kisah Sang Budha. Kemudian ia kembali kepada jenis lambang dan kronogram, karena ia ingin menambahi jumlahnya dan karena tugas itu belum selesai” -Nagarakrtagama 94.3

Nagarakretagama ditulis dalam bentuk kakawin sebagai pujasastra bagi Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, berbeda dengan Pararaton yang ditulis secara prosa. Nagarakretagama-lah, salah satunya, nama Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk (yang hanya disebutkan dengan gelarnya) begitu diagung-agungkan, yang menyebabkan namanya terkenal hingga kini. Dibandingkan dengan kakawin-kakawin lainnya, baik yang sejaman atau-pun sebelumnya, nampak nyata betapa berbedanya isi, gaya dan cara yang di tuangkan Mpu Prapanca dalam kakawinnya. Kakawin Desawarnanna atau Nagarakrtagama adalah rekaman yang benar-benar saksi mata atas pengalaman langsung yang ditulis pada masanya. Penulisnya, Mpu Prapanca, hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk sehingga dapat dipastikan ia tahu benar tentang keadaan sosial-ekonomi-politik-budaya Majapahit masa itu. Mpu Prapanca sering ikut dalam rombongan arak-arakan Raja Wilwatikta (Majapahit) selama mengadakan perjalanan ke berbagai tempat.

Mpu Prapanca pernah menjabat Dharmadhyaksa. Jabatan administratif keagamaan istana yang tugasnya mengurusi lembaga-lembaga, yayasan-yayasan, komunitas-komunitas keagamaan. Terdiri dari Dharmadhyaksa Kasogatan (Bodhadhyaksa) yang mengurusi pemeluk agama Budha, dan Dharmadhyaksa Kasaiwan (Saiwa- dhyaksa) khusus mengurusi pemeluk agama Siwa (Hindu). Kedua pejabat ini termasuk kaum rohaniwan, namun karena tidak pernah tercantum bukti-bukti di dalam teks prasasti (dokumen resmi pemerintah); maka (dharma)-dhyaksa ini oleh Kern dan Krom diterjmahkan sebagai “pengawas” (superintendent).

Dalam Nagarakrtagama (Nag.75) diterangkan wewenang dharmadhyaksa (Siwa dan Budha) mengawasi dharma lepas atau yayasan-yayasan keagamaan swasta dan milik keluarga istana (dharma kerajaan: dharma dalem atau dhar¬ma haji). Menurut Zoetmulder, inilah yang luput dari pengamatan Krom dan Kern sehingga keduanya keliru menafsirkan. Tatkala Prapanca menerangkan dirinya seorang dharmadhyaksa, ia menambahkan uraiannya bahwa sejak masih kanak-kanak ‘duk ray’ ia telah terbiasa bergaul dengan abdi dalem istana.

Ia mengaku bahwa usianya tidak jauh berpaut dengan Sri Baginda, dikala Dyah Hayam Wuruk memimpin tahta Majapahit (1350) dan melakukan kirab ke keliling daerah-daerah, Prapanca juga turut serta sambil mencatat dan menulis-kan hasil perjalanan tersebut. Kala itu Prapanca berusia 25 tahun Prapanca lalu saat menyesaikannya menjadi tulisan yang benar-benar utuh berupa Kakawin Desawarnanna, usia Prapanca telah mencapai 30 tahun.

Naskah ini ditemukan pertama kali tahun 1894, ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspedisi militer ke Pulau Lombok. Lombok berhasil ditundukkan; rajanya yang bersemayam di puri Cakranagara dipaksa menyerahkan naskah-naskah lontar yang disimpannya. Di antara naskah-naskah itu terdapat naskah Nagarakretagama, yang merupakan naskah salinan yang ditulis tahun 1662 Saka. J.L.A. Brandes yang sebelumnya pernah mempelajari tiga ekslempar naskah Serat Pararaton, tertarik untuk mempelajari Nagarakretagama ini. Ketika Nagarakretagama ditemukan di puri Cakranagara, Lombok, dan belum diterjemahkan, Brandes telah menerbitkan karyanya Pararaton (Ken Arok) of boek der koningen van Tumapel en van Majapahit berdasarkan Serat Pararaton pada tahun 1896. Namun, kemudian pada Juli 1978 ditemukan 4 naskah Nagarakretagama dari Pulau Bali: satu di Amlapura di Karangasem; satu lagi di Geria Pidada di Klungkung; dua lagi di Geria Carik Sideman.

Sebagaimana yang diakuinya bahwa hasil karya kakawinnya merupakan deskripsi mengenai wilayah-wilayah (kerajaan) yang diuraikannya satu persatu. Maka itu karyanya ini lebih tepat disebut Desawarnana ‘pelukisan tentang wilayah kerajaan’.

Sumber: http://jejaknusantara.com/bahasa-aksara

0 komentar:

Posting Komentar