Jumat, 30 Maret 2012

KEGIATAN DAN KOMODITI PERDAGANGAN DI KERAJAAN MAJAPAHIT

Gambaran mengenai aktivitas perdagangan dalam sumber prasasti biasanya dikaitkan dengan pengaturan mengenai batas barang-barang yang tidak dikenai pajak dan yang dikenai pajak. Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan. hal ini menandakan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli.

Aktivitas perdagangan pada masyarakat Jawa Kuno dapat dibedakan kedalam dua kategori: lokal yang berlangsung di tingkat desa, dan regional yang mencakup wilayah luas atau jarak jauh. Pusat perhatian dari kajian perdagangan lokal adalah kegiatan pasar yang biasanya beralngsung mengikuti pola hari pasaran dengan siklus lima hari sepekan dan biasanya me-nyang kut barang-barang kebutuhan sehari-hari. Pemahaman mengenai hal ini terutama diperoleh melalui kajian etnografi dan sumber-sumber sejarah Jawa. Kesimpulan umum mengenai pola perdagangan ini menegaskan bahwa sistem perdagangan lokal tidak mengalami perubahan yang berarti sejak dikenalnya sistem perdagangan ini hingga pertengahan abad ke-20.

Dalam konteks masa Jawa Kuno, tidak banyak diketahiu bagaimana ketentuan dan batas-batas desa yang menjadi rute rotasi, juga tidak diketahui bagaimana mekanisme perdagangan di atas tingkat desa dilakukan, dan kelompok pedagang seperti apa yang paling berperan. Lombard menduga, jenis perdagangan dalam cakupan yang lebih luas telah mulai muncul sejak awal abad ke 10 dengan munculnya profesi khusus yang disebut dengan istilah banyaga (pedagang) dan dikenal sebagi salah satu kelompok ‘pengelana’, bahkan diantaranya ada yang telah mendiami sebuah desa dan membuat sebuah pola perkampungan bagi pedagang. Hal tersebut menurut Pigeaud bukan merupakan hal yang aneh, karena pada abad ke-14 (sejak 1366-1387), telah dijumpai desa-desa dengan spealisasinya masing-masing.

Nagarakretagama pupuh LXXXIII/3 mencatat bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnatas (Mysore di India) datang ke Majapahit. Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa pun pergi ke tempat-tempat tersebut. Ramainya perdagangan Majapahit terbukti dari banyaknya pedagang asing yang ada di sana. Menurut Ma Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng Lain, disebutkan bahwa di Majapahit banyak bermukim orang-orang Cina dari Canton, Chang Chou, Ch’uan, dan Fukien. Bahkan di Gresik terdapat kurang lebih 1.000 keluarga Cina asal Canton, dan di antaranya termasuk bangsa asing dari Jambudwipa (India), Kamboja, Campa (Laos), Yawana, Goda, dan Kanataka.
Dalam hal ini, Tuban merupakan pelabuhan ekspor hasil bumi yang berasal dari Jawa atau pulau lainnya. Barang dagangan yang diekspor meliputi lada, garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, gula, pisang, kayu cendana, kelapa kapas, sutera, belerang, perak, emas, dan budak belian. Beras juga diekspor dari Tuban untuk Indonesia bagian timur. Di daerah ini beras ditukar dengan rempah-rempah yang selanjutnya dikirim ke Cina. Pelabuhan yang tidak kalah pentingnya adalah Gresik yang mengekspor berasnya sampai ke Malaka.

Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan adalah tuha dagang atau juru dagang yaitu ketua atau pengawas para pedagang. Istilah yang merujuk kepada profesi jual-beli disebut hadagang, banyaga atau awalija. Kendati tidak selalu disebutkan di dalam seluruh prasasti namun jenis-jenis barang yang diperdagangkan kerap dihantar atau dahului kata wli (beli) termasuk besar pajak yang ditentukan.

Disamping jenis barang dagangan, ada kelompok yang melakukan usaha pelayanan, khususnya pelayanan angkutan menggunakan tenaga hewan seperti atitih (kuda), juga alat angkut lainnya seperti gulungan (gerobag), mapadati (pedati) dan parahu (perahu).
Tidak setiap prasasti menuliskan aktivitas perdagangan, kecuali beberapa diantaranya Prasasti Biluluk II (1313 Saka/1391 AD):“asambewara sarwwa papat hadagang, hamahat … hamalanten hamdel hamuter hanglaksa hangapu … palalanjer luputing titiban sahang, cabe, kemukus kapulaga besi kawali besi pinggan kapas” (berdagang serba empat: pedagang, pemahat, tukang kain halus, pembuat celup berwarna biru, pembuat minyak yang menggunakan gilingan/hamuter, pembuat laksa, penjual kapur … termasuk hasil bumi yang diperjual-belikan seperti merica, cabe, kemenyan, kapulaga, besi, kuwali besi, pinggan kapas…).

Tentang barang dagang yang lain, beras biasanya didatangkan dari seluruh negeri dan menjadi sandaran utama perdagangan Kerajaan. Adapun garam umumnya dihasilkan dari pantai utara Jawa; kulit penyu dari Jawa Timur bagian selatan; mutiara dari Maluku; emas dan perak dari Jawa Barat. Sebaliknya, orang-orang Cina membawa barang kelontong, seperti sutera, keramik, uang kepeng, dan arak.

Penduduk yang ada di pantai utara terutama yang berdekatan dengan pelabuhan seperti Tuban Gersik, Surabaya, dan Canggu, kebanyakan menjadi pedagang. Menurut berita Ma Huan, kota-kota pelabuhan banyak ditempati pedagang dari Arab dan Cina. Sedangkan orang pribumi datang ke sana untuk berdagang. Barang yang menjadi komoditas di tempat ini adalah batu bermutu dan barang buatan luar negeri yang dibeli dalam jumlah banyak. Mereka sangat suka membeli barang pecah belah (porselen) Cina yang bergambar bunga-bungaan, bewarna hijau, minyak wangi, kain sutra, dan katun baik yang berguna maupun yang polos. Mereka membayarnya dengan uang tembaga dari Cina; uang tembaga dari berbagai dinasti di Cina laku di tempat niaga ini.

Tiap-tiap prasasti memiliki istilah-istilah menyebut jenis barang dagangan sejalan perkembangan dan pengenalan bahasa periode yang diwakilinya namun pada dasarnya berkaitan dengan ketentuan pajak. Secara garis besar barang-barang yang diperdagangkan terdapat tidak kurang dari 31 macam dan tidak berarti setiap pedagang menjual secara khusus satu jenis barang dagangan. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
a) jenis makanan dan bumbu-bumbuan dan pangan
b) jenis sandang
c) jenis perlengkapan umum, dan
d) hewan (ternak).

Sumber: http://jejaknusantara.com/sosial-ekonomi

0 komentar:

Posting Komentar